KETAHANAN
NASIONAL DI BIDANG PANGAN, EKONOMI PERBANKAN DAN INDUSTRI
Dosen Pengampu : Natal Kristiono
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan
Oleh
1.
Dian Dwi Susilowati 7101413059
2.
Siti Eva Mutoharoh 7101413060
3.
Afida ulfah 7101413100
4.
Efi Lestari 7101413107
5.
Della Arny
Novera 7101413113
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
ABSTRAK
Bangsa Indonesia yang
sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dewasa ini dalam rangka mencapai dan
mewujudkan cita-cita nasionalnya, yaitu masyarakat adil makmur, aman dan
sejahtera di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, yang merdeka, bersatu
berdaulat, berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar tahun 1945.[1]
Salah satu upaya dalam
mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan mengkokohkan sistem ketahanan
nasional. Pertahanan nasional di bidang ekonomi di Indonesia tergolong masih
lemah. Perbaikan dalam bidang pangan, ekonomi perbankan dan industri diperlukan
untuk menunjang tumbuh kembangnya ketahanan nasional tersebut. Apalagi di era
reformasi dan globalisasi saat ini, membuat Indonesia semakin dilanda masalah
yang tak berujung oleh penanganan yang segera dilaksanakan. Oleh karena itu
diperlukan cara penanganan yang sistematis,
komprehensif-integral serta terencana diikuti dengan semangat reformasi harus
diimplemantasikan dalam menyikapi dan merespon persoalan-persoalan ketahanan
nasional yang muncul. Selain itu
penyusunan berbagai strategi harus dilakukan dan di implementasikan secara
nyata.
Beberapa strategi tersebut
yaitu strategi peningkatan kemandirian dan strategi
peningkatan daya saing. Strategi kemandirian tersebut lebih berorientasi pada resource dan knowledge based, karena
walaupun bagaimana strategi pembangunan nasional tetap pada endowment factor yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Selanjutnya strategi
peningkatan daya saing lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan
kapasitas dari faktor-faktor internal tersebut agar mampu menghasilkan output
yang mampu berkompetisi global. Kedua strategi ini akan berhasil jika
sebelumnya dibangun kembali semangat nasionalisme dan membangun rasa saling percaya antar stakeholder pembangunan.
PENDAHULUAN
Globalisasi telah menempatkan bangsa dan negara Indonesia pada posisi
yang dilematis. Di satu sisi proses globalisasi tersebut telah memberikan
kesempatan dan tantangan bagi Bangsa dan Negara Indonesia untuk dapat hidup bergaul dengan masyarakat
internasional lebih baik lagi. Dalam hal ini proses tersebut telah merangsang
upaya peningkatan daya saing dan kompetisi bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa lain di berbagai aktivitas kehidupan. Di sisi lain, proses
globalisasi tersebut telah memberikan tekanan dan beban yang sangat berat bagi bangsa dan Negara
Indonesia untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan masyarakat
internasional baru seperti dalam masalah Ketahanan Nasional dibidang Pangan, Ekonomi
Perbankan dan
Industri.
Keseluruhan persoalan tersebut harus dihadapi dan diselesaikan oleh
bangsa Indonesia. Setiap kelalaian dan kegagalan dalam merespon dan menangani
persoalan dapat menimbulkan resiko yang serius bagi eksistensi dan keutuhan
bangsa dan Negara Republik Indonesia. Mengingat dimensi dari persoalan-persoalan tersebut sangat
kompleks dan beragam, maka diperlukan cara penanganan yang sistematis,
komprehensif-integral serta terencana. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk merespon perubahan dan mengatasi persoalan-persoalan tersebut adalah
dengan melakukan pengkajian terhadap masalah-masalah ketahanan nasional beserta
hal-hal yang terkait dengannya secara lebih objektif dan ilmiah.
Perubahan tersebut dalam banyak hal cukup signifikan, dan bahkan dalam
hal tertentu cukup drastis, sehingga menimbulkan persoalan-persoalan baru yang
sangat serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maraknya berbagai konflik,
baik yang bersifat vertikal, maupun yang bersifat horizontal, akhir-akhir ini
merupakan bukti dari adanya persoalan yang muncul akibat perubahan-perubahan tersebut.
Muncul dan berkembangnya gerakan separatis diberbagai daerah, tindak-tindakan
kekerasan di pelosok tanah air dan berbagai aksi demo yang menentang pemerintah
merupakan contoh konkrit dari persoalan-persoalan tersebut dan sangat rentan
terhadap disintegrasi bangsa.
Dengan demikian, adanya cara penanganan yang sistematis,
komprehensif-integral serta terencana diikuti dengan semangat reformasi harus
diimplemantasikan dalam menyikapi dan merespon persoalan-persoalan ketahanan
nasional yang muncul di era reformasi dan globalisasi dewasa ini.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional Indonesia adalah kondisi dinamik
bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang
terintegrasi , berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional, dalam menggapai dan mengatasi segala
tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan baik yang dating dari luar dan dari
dalam untuk menjamin identitas, integrasi, kelangsungan hidup bangsa dan Negara
serta perjuangan mencapai tujuan nasional.
Konsepsi ketahanan nasional adalah konsepsi
pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh
aspek kehidupan secara utuh dan terpadu berlandaskan UUD 1945 dan wawasan
nusantara dengan kata lain konsepsi ketahanan nasional merupakan pedoman untuk
meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan
mengembangan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan.
Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai
kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya
demi sebesar-besarnya kemakmuran yang adil dam merata, rohaniah, dan jasmaniah.
Sedangkan keamanan adalah kemampuan bangsa melindungi nilai-nilai nasional
terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam.
Landasan
Ketahanan Nasional
Landasan
ketahanan nasional dapat di bagi menjadi 3 bagian, yaitu adalah :
a) Pancasila Landasan Idiil
b) UUD 1945 Landasan Konstitusional
c) Wawasan Nusantara Landasan Konseptual
Asas-asas Ketahanan nasional
Asas
ketahanan nasional adalah tata laku yang disadari nilai-nilai yang tersusun
berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Asas-asas tersebut
adalah sebagai berikut :
a) Asas kesejahteraan dan keamanan
Asas ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan
wajib dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok. Didalam kehidupan
nasional berbangsa dan bernegara, unsur kesejahteraan dan keamanan ini biasanya
menjadi tolak ukur bagi mantap/tidaknya ketahanan nasional.
b) Asas komprehensif/menyeluruh terpadu
Artinya, ketahanan nasioanal mencakup seluruh aspek
kehidupan. Aspek-aspek tersebut berkaitan dalam bentuk persatuan dan perpaduan
secara selaras, serasi, dan seimbang.
c) Asas kekeluargaan
Asas ini bersikap keadilan, kebersamaan, kesamaan,
gotong royong, tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini hidup dengan asas kekeluargaan ini
diakui adanya perbedaan, dan kenyataan real ini dikembangkan secara serasi
dalam kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang bersifat
merusak/destruktif.
Sifat Ketahanan Nasional
a) Mandiri
Percaya kepada kemampuan dan kekuatan diri sendiri,
keuletan dan ketangguhan yang mengandung prinsip tidak mudah menyerah serta
bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian bangsa. Kemandirian
merupakan syarat untuk menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dalam
perkembangan global.
b) Dinamis
Ketahanan nasional dapat meningkat atau menurun
tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta lingkungan
strateginya. Hal ini sesuai dengan hakekat dan pengertian bahwa yang ada di
dunia ini selalu berubah dan perubahan itu sendiri senantiasa berubah pula.
Upaya peningkatan ketahanan nasional harus senantiasa diorientasikan kemasa
depan dan dinamikanya diarahkan untuk pencapaian kondisi kehidupan nasional
yang baik.
c) Wibawa
Keberhasilan pembinaan nasional secara berlanjut dan
berkesinambungan akan meningkatkan kemampuan dan kekuatan bangsa. Makin tinggi
tingkat ketahanan nasional Indonesia berarti makin tinggi daya tangkap yang
dimiliki bangsa dan Negara Indonesia.
d) Konsultasi dan kerjasama
Konsultasi dan kerjasama berarti tidak mengutamakan
sifat konfrontatif dan antagonis, tidak mengandalkan kekuasaan dan kekuatan
fisik semata, tetapi lebih bersikap konsultatif dan kerjasama serta saling
menghargai.
2.
Pangan
Pangan diartikan sebagai segala
sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang
tidak diolah. Pengertian pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun
yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan
atau minuman. [2]
Jenis-jenis
pangan dibedakan
atas pangan segar dan pangan olahan. Pengertian pangan segar adalah pangan yang belum mengalami
pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku
pengolahan, yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan
pangan. Misalnya beras, gandum, segala macam buah, ikan, air segar, dan
sebagainya. Sedangkan, pengertian
pangan olahan adalah pangan atau minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. [3]
3.
Ekonomi Perbankan
Bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[4]
Sedangkan
menurut Hasibuan (2005:2), pengertian bank adalah: “Bank adalah badan usaha yang kekayaannya
terutama dalam bentuk aset keuangan (financial assets) serta bermotif profit
juga sosial, jadi bukan hanya mencari keuntungan saja”. Selain
itu Kasmir (2008:2) berpendapat bahwa “Bank merupakan lembaga keuangan yang
kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian
menyalurkan kembali ke masyarakat, serta memberikan jasa-jasa bank lainnya”.
Berdasarkan
ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bank adalah usaha yang berbentuk lembaga keuangan yang
menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana (surplus of fund)
dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang kekurangan dana (lack of
fund), serta memberikan jasa-jasa bank lainnya untuk motif profit juga
sosial demi meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
4. Industri
Industri adalah
kegiatan memproses atau mengolah barang dengan menggunakan sarana dan peralatan.[5]
Perindustrian, Industri adalah kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi
menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk
kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.[6]
Enam konsep yang berkaitan
dengan industri adalah sebagai berikut :
1. Bahan mentah adalah semua bahan yang didapat dari sumber daya
alam dan/atau yang diperoleh dari usaha manusia untuk dimanfaatkan lebih
lanjut, misalnya kapas untuk inddustri tekstil, batu kapur untuk industri
semen, biji besi untuk industri besi dan baja.
2. Bahan baku industri adalah bahan mentah yang diolah atau tidak
diolah yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam industri, misalnya
lembaran besi atau baja untuk industri pipa, kawat, konstruksi jembatan, seng,
tiang telpon, benang adalah kapas yang telah dipintal untuk industri garmen (tekstil),
minyak kelapa, bahan baku industri margarine.
3. Barang setengah jadi adalah bahan mentah atau bahan baku yang telah
mengalami satu atau beberapa tahap proses industri yang dapat diproses lebih
lanjut menjadi barang jadi, misalnya kain dibuat untuk industri pakaian, kayu
olahan untuk industri mebel dan kertas untuk barang-barang cetakan.
4. Barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah siap
pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi, misalnya
industri pakaian, mebel, semen, dan bahan bakar.
5. Rancang bangun industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan
perencanaan pendirian industri/pabrik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya.
6. Perekayasaan industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan
perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan industri
lainnya.[7]
METODE PENULISAN
1. Jenis Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan
karya tulis ini adalah metode penulisan deskriptif (descriptive research) dengan pendekatan kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data desriptif berupa kata-kata
tertulis dari orang-orang dan perilaku
yang diamati, didukung dengan studi
literatur atau studi kepustakaan berdasarkan pendalaman kajian pustaka berupa
data dan angka, sehingga realitas dapat dipahami dengan baik (Moloeng, 1990:5).
Dalam
penyusunan karya tulis ini, penulis menjabarkan tentang bagaimana cara penanganan masalah ketahanan pangan di bidang pangan,
ekonomi perbankan dan industri yang sistematis, komprehensif-integral serta
terencana. Dengan rumusan masalah
yang telah tersusun, maka penulis menggunakan pendekatan penulisan secara
kualitatif untuk mendapatkan jenis data yang bersifat deskriptif. Lalu, penulis berusaha melakukan
eksplorasi data guna menjawab pembahasan masalah yang aplikatif.
2. Teknik dan Prosedur Penulisan
Teknik
penulisan dilakukan dengan memahami atau mengeksplorasi beberapa data sehingga
mampu memberikan deskripsi tentang masalah yang dianalisis. Sesuai dengan jenis penulisannya, maka
teknik penulisan yang berkarakter kualitatif dengan menguraikan, menjabarkan
dan merangkai variabel-variabel yang diteliti menjadi sebuah tulisan dalam setiap bagian pembahasan. Prosedur penulisan karya tulis ilmiah ini
adalah:
1.
Identifikasi masalah yang ada.
2.
Pencarian data dan/atau informasi dari sumber
terpercaya.
3.
Penyusunan penulisan dirancang secara sistematis dan
runtut.
4.
Pencarian kajian pustaka atau hasil kajian pustaka yang
didukung oleh hasil pengamatan.
5.
Karya tulis di analisis-sintesis, kesimpulan dan
rekomendasi.
3.
Jenis Data
dan Analisis Data
Jenis
data yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan karya tulis ini adalah jenis
data sekunder. Data sekunder adalah
data yang diperoleh dari orang kedua yaitu melalui situs-situs internet,
jurnal-jurnal maupuan buku-buku yang membahas tentang keadaan ketahanan pangan
di bidang pangan, ekonomi perbankan dan industry.
Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur dilakukan dengan cara
mempelajari dan menganalisis beberapa literatur yang berkaitan dengan pokok
permasalahan. Data-data tersebut diperoleh dari beberapa media, baik media
cetak maupun media elektronik.Data-data yang telah didapatkan kemudian
dipelajari dan didiskusikan dengan orang yang berkompeten pada permasalahan
terkait, sehingga memperoleh penguatan argumen dan pemahaman.
Setelah
data terkumpul, selanjutnya diikuti dengan kegiatan pengolahan data (data
processing). Data yang relevan akan digunakan sebagai rujukan dalam
pembahasan. Setelah proses pengolahan data, berikutnya adalah menganalisis data
dan menginterpretasikannya. Data hasil analisis tersebut diinterpretasikan atau
disimpulkan untuk menjawab keseluruhan masalah yang diteliti. Agar hasil
analisis ini memperoleh kebenaran yang ilmiah, maka analisis dalam penelitian
ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa tahapan yaitu tahap penyajian bukti
atau fakta (skeptik), memperhatikan
permasalahan yang relevan (analitik), dan tahap menimbang secara obyektif untuk
berpikir logis (kritik). (Narbuko, Achmad, 2004:6).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejak tahun 2004 sampai 2007,
kondisi ekonomi nasional membaik. Produk Domestik Bruto berdasarkan harga
konstan, yang berdasar tahun 2004 sebesar Rp. 1.656.516,8 milyar pada tahun
2007 meningkat menjadi Rp. 1.846.654,9 milyar. Pertumbuhan ekonomi juga
mengalami peningkatan, dari 5,05 (2004) menjadi 6,3 (2007), meski peningkatan
ini belum sesuai target rencana pembangunan jangka menengah tahun 2007.
Semantara tingkat inflasi relatif terkendali pula, 6,40% (2004), 17,11%
(tertinggi pada 2005), 6,60% (2006) dan menurun kembali ke 6,59% (2007). Namun,
kondisi diatas belum mampu memecahkan masalah ekonomi yang ada. Beberapa
masalah utama yang timbul yaitu lemahnya pertahan nasional di bidang ekonomi salah
satunya yaitu tingkat pengangguran dan kemiskinan yang mulai meningkat.
Tahun 2005 pengangguran mencapai
10,85 juta, 10,55 juta (2006) dan 10,01 juta (2007), sementara kemiskinan 36,20
juta (2005), 39,29 (2006) dan 37,16 (2007).[8]
Tahun 2008
diperkirakan akan terjadi peningkatan pengangguran dan jumlah penduduk miskin.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi juga akan meuncul akibat krisis energi dan pangan
dunia.
Lemahnya ketahanan nasional juga
dipengaruhi oleh rapuhnya struktur ekonomi. Ekonomi Indonesia ternyata masih sangat
tergantung dengan kondisi ekonomi luar negeri atau struktur ekonomi footlose. Indikatornya adalah bahan
baku, bahan penolong dan teknologi industri domestik adalah impor. Juga hutang
luar negeri yang digunakan untuk mengakselerasi kegiatan-kegiatan ekonomi yang
relatif tinggi. Dampaknya adalah nilai US$ terhadap Rupiah baik yang disebabkan
oleh depresiasi atau devaluasi selalu diikuti oleh inflasi ongkos (cash push inflation). Hal tersebut yang
mengakibatkan krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mampu
menimbulkan stagflasi yang kemudian memicu krisis multidimensi.
Indonesia dikategorikan sebagai
negara high cost recovery yang di
sebabkan oleh kualitas sumberdaya manusia, struktur ekonomi, pemerintahan dan
birokrasi yang tidak memadai, juga didukung adanya budaya konsumtif dan korupsi
oleh masyarakatnya. Pada tahun 2000, 40% dari kelompok penduduk berpendapatan
terendah menikmati 20,92%, sedangkan pada 2006 kelompok tersebut hanya
menikmati 19,2% dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, 20% dari
kelompok penduduk terkaya pada tahun 2000 menikmati 41,19% dari pertumbuhan
ekonomi nasional dan pada 2006 menikmati 45,72% dari tingkat pertumbuhan
nasional.[9]
Hal tersebut juga konsisten jika
dihitung berdasarkan Gini Ratio yang
menunjukkan peningkatan dari 0,29 menjadi 0,35. Semakin tingginya kesenjangan
pendapatan antar kelompok masyarakat membawa implikasi pada semakin tingginya
kesenjangan kemakmuran antar kelompok masyarakat tersebut. Kondisi ini
menurunkan kohesi sosial yang bahkan menimbulkan potensi konflik antar kelompok
masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut, diperlukan
perwujudan ketahanan nasional ekonomi di bidang pangan, ekonomi perbankan dan
industri dengan beberapa strategi pembangunan ketahanan nasional. Strategi
pertama adalah peningkatan kemandirian, kedua adalah strategi peningkatan daya
saing.
Strategi peningkatan kemandirian hendaknya dilakukan dengan memberikan prioritas utama pada penguatan faktor-faktor internal yang kita miliki. Atau dengan kata lain strategi yang lebih berorientasi pada resource dan knowledge based, karena walaupun bagaimana strategi pembangunan nasional tetap pada endowment factor yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sedangkan strategi peningkatan daya saing lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas dari faktor-faktor internal tersebut agar mampu menghasilkan output yang mampu berkompetisi global. Kedua strategi ini akan berhasil jika sebelumnya dibangun kembali semangat nasionalisme dan membangun rasa saling percaya antar stakeholder pembangunan.
Strategi peningkatan kemandirian hendaknya dilakukan dengan memberikan prioritas utama pada penguatan faktor-faktor internal yang kita miliki. Atau dengan kata lain strategi yang lebih berorientasi pada resource dan knowledge based, karena walaupun bagaimana strategi pembangunan nasional tetap pada endowment factor yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sedangkan strategi peningkatan daya saing lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas dari faktor-faktor internal tersebut agar mampu menghasilkan output yang mampu berkompetisi global. Kedua strategi ini akan berhasil jika sebelumnya dibangun kembali semangat nasionalisme dan membangun rasa saling percaya antar stakeholder pembangunan.
Pembangunan ekonomi
diarahkan kepada mantapnya ketahanan ekonomi melalui terciptanya iklim usaha
yang sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, tersedianya barang
dan jasa, terpeliharanya fungsi lingkungan hidup serta meningkatkan daya saing
dalam lingkup persaingan global
Ketahanan Nasional Di Bidang Pangan
Konsep ketahanan
pangan yang diterapkan Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) No.7
Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa
"Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT)
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan definisi ketahanan
pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk
dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat.
Sementara pada World Food Summittahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai
akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu
untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai
dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy, 2002a).
Hingga awal
tahun 2000-an, sebelum pemanasan global menjadi suatu isu penting, dunia selalu
optimis mengenai ketersediaan pangan. Bahkan waktu itu, FAO memprediksi bahwa
untuk 30 tahun ke depan, peningkatan produksi pangan akan lebih besar daripada
pertumbuhan penduduk dunia. Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan
terjadi di negara-negara maju. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga
akan membaik. Prediksi ini didasarkan pada data historis selama dekade 80-an
hingga 90-an yang menunjukkan peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata
per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6%
per tahun. Memang, untuk periode 2000-2015 laju peningkatan produksi pangan
diperkirakan akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun ini masih
lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang
diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode 2015-2030 laju pertumbuhan produksi
pangan diprediksikan akan lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun tetapi juga
masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun.
Juga FAO memprediksi waktu itu bahwa produksi biji-bijian dunia akan meningkat
sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di tahun
2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2030 (Husodo, 2002).
Memang
setidaknya sejak tahun 2000 hingga tahun 2007 dunia sudah mengalami defisit
stok pangan 5 kali, yaitu tahun 2000, 2002, 2003, 2006, dan 2007. Namun,
menurut Sunday Herald (12/3/2008), krisis pangan kali ini menjadi krisis global
terbesar abad ke-21, yang menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia.
Santosa (2008a,b) mencatat bahwa akibat stok akhir yang semakin terbatas, harga
dari berbagai komoditas pangan (tidak hanya beras tetapi juga pangan lainnya
seperti gandum, kedelai, jagung, gula/tebu, dan minyak sawit) tahun 2008 ini
akan menembus level yang sangat mengkhawatirkan. Harga seluruh pangan
diperkirakan tahun 2008 akan meningkat sampai 75% dibandingkan tahun 2000;
beberapa komoditas bahkan harganya diperkirakan akan mengalami kenaikan sampai
200%. Harga jagung akan mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir,
kedelai dalam 35 tahun terakhir, dan gandum sepanjang sejarah.
Sejak Januari
2008 kenaikan harga beras sudah mencapai 141%, bahkan harga beras putih
Thailand 100% kualitas B tercatat telah mengalami kenaikan dari 203 dollar
AS/ton pada 3 Januari 2004 ke 375 dollar AS/ton pada 3 Januari 2008 dan
mencapai 1000 dollar AS/ton pada 24 April 2008.
Sedangkan
menurut laporan Bank Dunia per Agustus 2007, harga beras kualitas medium (Thai
25% patah) telah menembus 307 dollar AS per ton, atau Thai patahan 15% di
Bangkok dari 178 dollar AS pada tahun 2002 menjadi 324 dollar AS pada bulan
November (minggu pertama) 2007. Krisis pangan juga bisa terjadi (atau bahkan
sudah melanda) Indonesia.
Data dari Deptan menunjukkan bahwa selama
periode 2005-2007, harga dari sejumlah komoditas pangan penting mengalami
kenaikan lebih dari 50%. Bahkan harga kedelai naik sekitar 114%. Namun
demikian, menurut sejumlah ahli, memang harga pangan cenderung meningkat terus,
tetapi krisis pangan di dalam negeri bukan karena stok terbatas melainkan
karena akses ke pangan yang terbatas. Misalnya, Bayu Krisnamukti, Deputi
Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kehutanan (dikutip oleh
Prabowo, 2008e) menjelaskan sebagai berikut: pada dasarnya ketersediaan pangan
di dalam negeri relatif cukup. Sebagai gambaran, saat ini (per April 2008)
suplai karbohidrat baik dalam bentuk beras, singkong, jagung, maupun mbi-umbian
0,5 kilogram per kapitaper hari. Apabila separuh dari suplai karbohidrat itu
untuk keperluan industri atau pakan ternak, setidaknya masih tersisa 600 gram
per kapita per hari. Padahal, kebutuhan karbohidrat untuk hidup sehat hanya 300
gram per kapita per hari. Namun, suplai yang cukup itu tidak akan berarti
apa-apa manakala daya beli masyarakat melemah akibat kenaikan harga pangan yang
terus meningkat.
Ada juga yang
berpendapat krisis pangan global sekarang ini adalah hasil dari kesalahan
kebijakan dari lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia dan IMF dan juga
kesalahan kebijakan dari banyak negara di dunia, termasuk negara-negara yang
secara potensi adalah negara besar penghasil beras seperti Indonesia, India dan
China dalam dua dekade terakhir. Schutter, misalnya, ketua FAO mengatakan bahwa
Bank Dunia dan IMF menyepelekan pentingnya investasi di sektor pertanian dengan
mempromosikan kebijakan produksi berorientasi ekspor (Khudori, 2008).
Kedua lembaga
ini mendesak agar NSB yang masuk di dalam program bantuan financial mereka
menjalankan kebijakan tersebut, yakni
menghasilkan komoditas berorientasi ekspor, khususnya
manufaktur, selain melaksanakan program penyesuaian structural sebagai syarat
utama untuk mendapatkan bantuan keuangan. Kebijakan ini mengabaikan ketahanan
pangan.[10]
Indonesia juga
mengalami ketergantungan impor. Pada prinsipnya, impor suatu produk terjadi
karena tiga alasan. Pertama, produksi dalam negeri terbatas, sedangkan
permintaan domestik tinggi (kelebihan permintaan di pasar domestik). Jadi impor
hanya sebagai pelengkap. Hipotesisnya: peningkatan produksi dalam negeri akan
mengurangi impor. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut bisa karena dua
hal, yakni (a) kapasitas produksi memang terbatas (titik optimum dalam skala
ekonomis sudah tercapai), misalnya untuk kasus pertanian, lahan yang tersedia
terbatas karena negaranya memang kecil; atau (b) pemakaian kapasitas terpasang
masih dibawah 100% karenaberbagai penyebab, bisa karena keterbatasan dana atau
kurangnya tenaga kerja. Kedua, impor lebih murah dibandingkan dengan harga dari
produk sendiri, yang dikarenakan berbagai factor, seperti ekonomi biaya tinggi
atau tingkat efisiensi yang rendah dalam produksi dalam negeri, atau kualitas
produk impor lebih baik dengan harga yang relatif sama. Hipotesisnya:
peningkatan impor akan mengurangi produksi dalam negeri. Ketiga, dilihat dari
sisi neraca perdagangan (atau neraca pembayaran), impor lebih menguntungkan
karena produksi dalam negeri bisa untuk ekspor dengan asumÃs harga ekspor
dipasar luar negeri lebih tinggi daripada harga impor yang harus dibayar. Ini
berlaku bagi produk diferensiasi seperti dalam kasus persaingan monopolistik.
Ketergantungan
Indonesia pada impor beras selama ini rasanya lebih dikarenakan produksi dalam
negeri yang terbatas, atau yang jelas bukan karena motivasi keuntungan dalam
perdagangan luar negeri. Memang, bukan hanya Indonesia, tetapi banyak NSB
lainnya yang juga sangat tergantung pada impor untuk kebutuhan pangan mereka,
dan ketergantungan tersebut semakin besar jika dibandingkan 10 atau 20 tahun
yang lalu.
Menurut data
FAO, impor pangan NSB tahun 1995 sekitar 170 juta ton, dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 270 juta ton tahun 2030. Sebaliknya, ekspor produk-produk
pangan dari NM seperti AS, Kanada, Australia dan UE akan semakin besar,yang
oleh FAO diperkirakan akannaik dari 142 juta ton tahun 1995 menjadi 280 juta
ton tahun 2030. Dalam hal beras, walaupun masalah impor beras di dalam negeri
rame dibicarakan baru sejak terjadinya krisis ekonomi 1997/98, namun sebenarnya
ketergantungan Indonesia terhadap impor beras sudah sejak era Orde Baru; bahkan
jauh sebelum era tersebut. Berdasarkan analisanya terhadap data FAO (FAOSTAT),
Dawe (2008) menunjukkan bahwa memang Indonesia sudah menjadi negara pengimpor
beras paling tidak dalam 100 tahun terakhir, dengan pangsa impor beras dalam
konsumsi domestik rata-rata 5% dalam seabad yang lalu dan 4% dalam 15 tahun
terakhir. Hanya pada tahun-tahun tertentu, Indonesia tidak mengimpor beras. Karena
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan, dan banyak pulau yang masih relatif
terisolasi karena buruknya infrastruktur, maka perlu juga dilihat tingkat
ketergantungan impor atau produksi atau kecukupan beras per wilayah (propinsi
atau pulau).
Dengan kondisi
geografi dan infrastruktur seperti itu, tidak mustahil (bahkan sering terjadi)
bahwa, di satu sisi, pada tingkat nasional Indonesia swasembada beras atau
tidak ada masalah dengan kecukupan beras, namun, di sisi lain, tidak semua
propinsi/pulau di dalam negeri mengalami kecukupan beras. Dengan memakai data
produksi padidari BPS untuk periode 1995-1999, hasil studi dari Natawidjaya
(2001) menunjukkan hal tersebut, yakni adanya perbedaan yang cukup signifikan
antar propinsi dalam jumlah produksi ekuivalen beras yang tersedia untuk
dikonsumsikan.
Pulau Jawa
memiliki banyak ketersediaan beras sebagai hasil dari tingginya volume produksi
padidi pulau tersebut, sedangkan propinsi-propinsi di luar Jawa yang juga
memiliki banyak persediaan beras adalah Sumatera Utara dan Sulawesi yang
ketersediaan ekuivalen beras sekitar 6% hingga 8% dari ketersediaannasional
dari hasil produksi dalam negeri. Akan tetapi, data BPS yang dia gunakan itu
tidak memberi jawaban pada pertanyaan apakah propinsi-propinsi yang
ketersediaan berasnya banyak mengalami kecukupan atau surplus. Untuk mengetahui
ini, Natawidjaya juga melihat tingkat kebutuhan konsumsi beras per propinsi
yang dihitung dengan memakai data tingkat konsumsi beras per kapita per tahun
dikalikan jumlah penduduk per propinsi. Hasilnya menunjukkan bahwa
propinsi-propinsi yang mengalami defisit beras lebih banyak terdapat dikawasan
timur Indonesia, sedangkan propinsi-propinsi yang mengalami kelebihan beras
lebih banyak dari kawasan barat Indonesia, terutama di Jawa Barat.[11]
Memang sangat
ironis melihat kenyataan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara agraris besar
mengalami masalah ketahanan pangan. Menurut Suyadi (2008), Indonesia saat ini
mengalami 2 bentuk krisis pangan, yakni krisis pangan secara berkala dan
kronis. Krisis pangan berkala terjadi karena, misalnya, adanya bencana alam, konflik
sosial, fluktuasi harga, dll.
Sedangkan jenis
krisis pangan kedua tersebut adalah krisis yang terjadi secara berulang-ulang
dan terus-menerus. Krisis ini ditengarai adanya akses terbatas terhadap
persediaan pangan disertai harga pangan yang melambung tinggi.[12] Menurut
informasi dari WFP, daerah-daerah di Indonesia yang mengalami krisis pangan
kronis adalah Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Timur dan
sebagian Kalimantan Tengah, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Papua Barat, serta Maluku.[13] Menurut
Suyadi, pada tingkat nasional, Indonesia tidak punya masalah dengan pangan,
namun, secara mikro, krisis pangan telah terjadi di tingkat keluarga, terutama
di daerah-daerah terpencil, terutama di kelompok masyarakat yang sepenuhnya
mengandalkan pertanian untuk hidup.
Untuk memahami
kenapa krisis pangan juga melanda sebuah negara agraris besar seperti Indonesia
(paling tidak pada tingkat mikro), perlu diketahui terlebih dahulu apa saja
faktor-faktor determinan utama ketahanan pangan. Menurut Yustika (2008), dalam
kaitan dengan ketahanan pangan, pembicaraan harus dikaitkan dengan masalah
pembangunan pedesaan dan sektor pertanian. Pada titik inilah dijumpai realitas
bahwa kelembagaan di pedesaan setidaknya dipangku oleh tiga pilar, yaitu
kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, dan kelembagaan
perkreditan. Tanah/lahan masih merupakan aset terpenting bagi penduduk pedesaan
untuk menggerakkan kegiatan produksi. Sedangkan relasi kerja akan menentukan
proporsi nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di
pedesaan. Terakhir, aspek perkreditan/pembiayaan berperan amat penting sebagai
pemicu kegiatan ekonomi di pedesaan. Menurutnya, ketiga pilar/kelembagaan
tersebut (atau perubahannya) akan amat menentukan keputusan petani sehingga
turut mempengaruhi derajat ketahanan pangan. Pandangan di atas tidak salah, namun bisa dikembangkan, yakni bahwa
ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh tiga pilar tersebutnamun
oleh sejumlah faktor berikut: (a) lahan (atau penguasaan tanah menurut Yustika
di atas), (b) infrastruktur, (c) teknologi, keahlian dan wawasan, (d) energi,
(e) dana (aspek perkreditan menurut Yustika), (f) lingkungan fisik/iklim, (g)
relasi kerja (seperti Yustika), dan (h) ketersediaan input lainnya
Merujuk pada UU No 7 tahun 1996 pasal 46, tugas pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan adalah menyelenggarakan, membina, dan mengakomodasikan segala upaya
atau kegiatan untuk mewujudkan cadangan
pangan nasional. Bukan hanya itu, pemerintah juga diamanatkan untuk menyediakan,
mengadakan dan meyalurkan pangan sehingga
terjadi distribusi pangan
secara merata.[14]
Kurangnya
pemahaman, penghayatan dan pengamalan ideologi Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari menyebabkan mudah terjadinya kerawanan sosial. Kuatnya pengaruh paham-paham dari luar melalui perkembangan IT
yang mudah diakses menyebabkan
terjadinya pengaruh negatif yang dapat merusak nilai-nilai kehidupan bangsa dan
sendi-sendi kemasyarakatan sehingga
dengan kurangnya rasa nasionalisme
dan kurangnya pemahaman akan agama yang dianut memudahkan masuknya paham-paham
radikal. Hal ini dapat menimbulkan berbagai macam kerawanan sosial, tidak
terkecuali kerawanan yang menyangkut masalah kebutuhan dasar pangan, yang akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan
nasional.[15]
Berdasarkan
hasil penelitian Food Agriculture Organization (FAO), jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan pada
tahun 2010 mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin
berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20
tahun terakhir. Sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja
baik secara langsung maupun tidak langsung (Bustanul Arifin, 7 Juni 2011).
Pangan merupakan
permasalahan bangsa yang mendesak untuk ditindaklanjuti dan memerlukan
langkah-langkah penanganan dengan pendekatan yang sistematik, terpadu dan
menyeluruh. Upaya-upaya tersebut, harus ditujukan untuk mengurangi beban
masyarakat dan memenuhi hak-hak dasar setiap warga negara secara layak,
sehingga dapat menjalani dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Mengingat pentingnya pangan untuk keberlanjutan berbangsa dan bernegara, maka
seluruh pemangku kepentingan harus mampu menyatukan langkah dan pemikiran serta
menempatkan upaya produktivitas pertanian sebagai prioritas utama.
Dalam upaya meningkatkan
produktivitas pertanian, Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan.
Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi permasalahan paradigma,
produksi, distribusi, konsumsi, koordinasi dan keuangan.
Pemenuhan kebutuhan Pangan
bagi setiap warga negara merupakan hak sekaligus kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi oleh Negara. Jika tidak terpenuhi, akan berpengaruh terhadap ketahanan
nasional dan berdampak terhadap keutuhan NKRI. Sehubungan dengan hal tersebut
di atas, perlu dilanjutkan langkah-langkah penanganan peningkatan produktivitas
pertanian guna mewujudkan ketahanan pangan dalam rangka ketahanan nasional
dengan pendekatan yang sistematik, terpadu dan menyeluruh.[16]
Kebijakan (pemantapan) ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan
serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Permasalahan utama
dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini terkait dengan adanya
fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan
penyediaannya. Permintaan yang meningkat cepat tersebut merupakan resultante
dan peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli
masyarakat, dan perubahan selera. Sementara itu kapasitas produksi pangan
nasional pertumbuhannya lambat bahkan stagnan disebabkan olehadanya kompetisi
dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta stagnannya pertumbuhan
produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian.
Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi
nasional tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan meningkatnya penyediaan
pangan nasional yang berasal dari impor. Ketergantungan terhadap pangan impor
ini terkait dengan upaya mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional.[17]
Ketahanan Nasional
Di Bidang Ekonomi Perbankan
Berdasarkan
hasil pengawasan, pada akhir tahun 2012 hampir seluruh (98%) bank umum
konvensional memperoleh predikat Sehat dan Cukup Sehat atau membaik
dibandingkan tahun 2011 (27%). Perkembangan positif juga terjadi pasa bank
syariah, jumlahbank yang berperingkat Baik meningkat dari 55% (2011) menjadi
73% (2012). Sementara hasil pengawasan BPR pada tahun 2012 menunjukan komposisi
BPR dengan predikat sehat yang tidak mengalami perubahan (84%) dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.[18]
Arah
kebijakan perbankan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2012
diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara peningkatan daya saing dan
memperkuat ketahanan perbankan, dengan tetap mendorong intermediasi bank
termasuk memperluas akses masyarakat ke layanan jasa perbankan berbiaya rendah.
Pada Bank Umum
Konvensional, selama tahun 2012 Bank Indonesia telah menetapkan arah kebijakan
yang dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu (1) Kebijakan untuk
meningkatkan daya saing perbankan dan stabilitas sistem keuangan. (2) Kebijakan untuk
memperkuat ketahanan perbankan. Kebijakan penguatan ketahanan perbankan
dilakukan melalui permodalan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi kedepan
dan antisipasi perubahan siklus bisnis.
(3) Kebijakan untuk mendorong peran intermediasi
perbankan
Ketahanan Nasional
Di Bidang Industri
Secara makro industri kecil
Indonesia, dihadapkan pada persaingan yang semakin ketat khususnya
dengan meningkatnya jumlah industri
besar yang memproduksi barang dan jasa
yang sejenis, apalagi didukung oleh Penanaman modal asing (PMA). Jumlah perusahaan PMA
tahun 2008 diperkirakan sebesar
19,54 persen atau separuh dari penanaman modal dalam negeri (PMDN). Berdasar
lokasinya terkonsentrasi di Pulau Jawa (76.16%), khususnya Jawa Barat yang
mencapai 38, 5 %. (BPS 2010). Secara mikro permasalahan usaha kecil dan
menegah (UKM) dihadapkan pada permasalahan
internal berupa rendahnya sumberdaya manusia (kurang trampil, kewirausahaan
yang rendah, penguasan teknologi yang kurang, dan kurangnya manajemen dan penguasaan
pasar). Permasalahan ini berdampak pada
rendahnya produktivitas dan kualitas organisasi bisnis. (Mudrajat,
1996).
Permasalahan utama dibidang organisasi industri adalah bagaimana
perusahaan dan pasar akan diorganisir untuk menghasilkan kinerja ekonomi
optimal. (optimal economic performance) (Nor Ghani Md. Nor, Zulkifly Osman, Ahmad Zainuddin Abdullah, Chin Yit Jun, 2000)[19].
Semua aktivitas entitas bisnis berupaya untuk selalu menjaga dan meningkatkan
kinerjanya (performance) oleh sebab itu kondisi pesaing harus senantiasa
dipantau. Persaingan di pasar yang berbeda akan memerlukan prilaku yang
berbeda, karena kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap
performance (profitability, efficiency
dan progressiveness). (Stepen Martin, 1998)[20]
Semakin tinggi tingkat persaingan maka semakin kecil profit yang diperoleh,
bahkan mungkin akan tidak ada keuntungan jika firms tidak efisien. Dengan
mengusahakan agar sumberdaya industri lebih produktif khususnya dalam proses
produksi, biaya transport dan kualitas bahan baku yang lebih
baik.
Kemudian,
untuk kekuatan matra udara, pesawat terbang dari berbagai jenis yang jumlahnya
259 unit, hanya siap 48,65 persen, dan peralatan radar sebanyak 16 unit, hanya
siap 50 persen. Dengan wilayah yang sangat luas baik wilayah daratan, laut,
maupun udara, kuantitas, kualitas, serta kesiapan operasional alutsista sebesar
itu sangat muskil untuk menjaga integritas dan keutuhan wilayah yurisdiksi
secara optimal, terlebih lagi bila timbul permasalahan lain yang tidak terduga,
seperti bencana alam tsunami dan krisis Ambalat.
Perwujudan kemandirian industri
pertahanan dalam negeri merupakan salah satu cita-cita besar Indonesia yang
masih belum terwujud. Setiap negara membutuhkan persediaan alat-alat
persenjataan sebagai pertahanan negara, baik dalam hal wilayah, kedaulatan, keamanan,
dan sebagainya. Hal ini diatur dalam UU No.16 /2012 mengenai Industri
Pertahanan. Begitu pentingnya alat persenjataan bagi Indonesia, tetapi selama
ini diketahui bahwa sebagian besar kebutuhan persenjataan dipenuhi dengan cara
impor dari luar negeri.
Untuk mewujudkan kemandirian
industri pertahanan dalam negeri, harus diciptakan kerjasama dan kesinergisan
antara kalangan akademisi sebagai pusat riset teknologi, industri sebagai
produsen, pemasok dan perbekalan pendukung, dan TNI sebagai pemakai hasil
teknologi tersebut. Kemandirian industri pertahanan nasional ini akan
mewujudkan kemampuan menjamin ketersediaan ALUTSISTA sehingga kemandirian
pertahanan negara dan keutuhan kedaulatan NKRI akan terjaga. Terdapat tiga hal
yang harus dicapai ketika Indonesia sudah "mandiri industri", yakni kemampuan
dalam membuat/mengintegrasikan alutsista , kebebasan dalam memilih sumber material/
sistem/teknologi dan ketidak-tergantungan terhadap berbagai
ikatan.
KESIMPULAN
Bagi ketahanan nasional, aspek ekonomi juga merupakan hal yang sangat penting karena dengan ekonomi yang stabil akan perpengaruh positif
terhadap ketahanan nasional suatu Negara. Perekonomian merupakan salah satu
aspek kehidupan nasional yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan bagi
masyarakat, meliputi produksi, distribusi, serta konsumsi barang dan jasa.
Usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat secara individu maupun
kelompok serta cara-cara yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan.
Oleh karena
itulah aspek ekonomi sangat berpengaruh karena terlibat langsung dengan
masyarakat. Sebagai contoh adalah ketahanan nasional dalam bidang pangan.
Dengan ekonomi yang baik tentu saja suatu Negara tidak akan kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan pangan warga negaranya. Kelaparan tidak akan terjadi dan
kemiskinan perlahan dapat berkurang.
Selain itu
suatu Negara akan sangat mudah menerapkan suatu teknologi baru terhadap sistem
pertanian mereka jika Negara tersebut sehat perekonomiannya. Dukungan akan industri dan ekonomi perbankan juga menyumbang penuh adanya
proses penguatan ketahanan nasional. Bahwa Indonesia akan bertahan menjadi
negara yang berdiri dengan kokoh dengan cara menguatkan dan mengkokohkan sistem
pertahanan nasinal diberbagai bidang dan dengan cara
penanganan yang sistematis, komprehensif-integral serta terencana diikuti
dengan semangat reformasi harus diimplemantasikan dalam menyikapi dan merespon
persoalan-persoalan ketahanan nasional yang muncul. Sehingga Indonesia dapat memiliki pertahanan
nasional yang diharapkan dapat mensejahterakan bangsa dan Negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adebakin M.A, Raimi L. National Security
Challengesand Sustainable Economic.
Development: Evidence from
Nigeria ournal of Studies in Social Sciences.ISSN 2201-4624.Volume 1 (2012),
Number 1, 1-30
Hikmat hayder, Utz Mueller and Andrew bartholomaeus.2011.Review of
intolerance reactions to Food
and Food Additives. International Food Risk Analysis Journal. Vol.1, No. 2,
23-32.
Cahyo Saparinto & Diana
Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta:
Kanisius.
Susanto, Heboh.2012.Aktualisasi kepemimpinan nasional yang
Visioner diBidang
Pangan dapat
mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional. Lembaga Ketahanan nasional RI.
Sutopo, Indi.2011. Produktivitas dan
Ketahanan Bisnis Industry Kecil.Studi
Empiris
Industri Batik Tulis Trusmi Industrial Plered Regency Cirebon Distrint. Dinamika
Keuangan dan Perbankan. November 2011, Hal: 102-112. ISSN : 1979-4878.
Universitas Jendral Soedirman.
anonim. 2013. Meningkatkan Produktivitas Pertanian Guna Mewujudkan Ketahan
Pangan dalam Rangka
Ketahanan Nasional. Direktorat Pengkajian Bidang
Ekonomi.Jurnal Kajian LEMHANNAS RI. Edisi 15. Mei 2013.
Tambunan, Tulus.2008. Ketahan Pangan di Indonesia (Mengidentifikasi
Beberapa Penyebab). Pusat Studi
industry dan UKM. Universitas Trisakti. Agustus 2008.
Jokolelono, Eko.2011. Pangan dan Ketersediaan Pangan.Media
Litbang Sulteng
IV(2):88-96, Desember 2011.ISSN :
1979-5971
Setiawan, Budi I.2012. Optimalisasi
Diversifikasi Pangan guna mewujudkan
Ketahanan Pangan Nsional yang
Berkelanjutan. Majalah TANNAS Edisi 94-2012
Handewi P.S, Sri H.S dan Gatoet S.H.
Prospek Ketahanan pangan Nasional
(Analisis dari Aspek Kemandirian
Pangan). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Bogor
Sujono.Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Kawasan Industri dan Perumahan
dengan Pendekatan Ketahanan Nasional
: Studi Kasus di Kotamadya dati II Semarang. Tesis.Perpustakaan Universitas
Indonesia. Deskripsi Dokumen:
Anonim.”Pengertian
Konsumen dan Perlindungan Konsumen” dalam
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37565/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 9 mei 2014 pukul 1:32 a.m WIB.
diakses pada 9 mei 2014 pukul 1:39 a.m WIB.
Anonim.”Pengertian
dan Fungsi Perbankan”
dalam
http://www.kajianpustaka.com/2013/01/pengertian-dan-fungsi perbankan.html#sthash.29nsCcDQ.dpuf
diakses pada 9 mei 2014 pukul 2:32 a.m WIB.
diakses pada 9 mei 2014 pukul 3:32 a.m WIB.
Anonim.”Pengertian
Pangan dan Jenis-Jenis Pangan”
dalam
http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-pangan-dan-jenis-jenis-pangan diakses
pada 9 mei 2014 pukul 2:32
a.m WIB.
Anonim.”Pengertian Industri dan Perindustrian”
dalam
http://ghozaliq.com/2013/09/13/pengertian-industri-dan-perindustrian
diakses pada 9 mei 2014 pukul 1:50
a.m WIB.
dengan Pendekatan Ketahanan Nasional : Studi Kasus di Kotamadya dati II
Semarang. Tesis.Perpustakaan Universitas Indonesia. Deskripsi Dokumen:
http://www.pengertianahli.com/2013/11/pengertian-pangan-dan-jenis-jenis-pangan
diakses pada 9 mei 2014 pukul 2:32
a.m WIB.
[7]Anonim.”Pengertian Industri dan Perindustrian”
dalam http://ghozaliq.com/2013/09/13/pengertian-industri-dan-perindustrian
diakses pada 9 mei 2014 pukul 1:50
a.m WIB.
[11]
Kompas “Pangan. Stok Bulog Belum Terpenuhi, Indramayu
dan Cirebon Surplus Beras”, Rabu, 18 Juni 2008: 22.
[12] Menurut
laporan hasil pengkajian dari World Food Programme (WFP) (Februari 2007) yang
dikutip oleh Suyadi (2008) menunjukkan bahwa daerah-daerah bekas bencana
seperti pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam, pulau Simeulue, Nias,
Yogyakarta, dan sebagian Jawa Tengah mengalami krisis pangan yang akut. Meski
demikian, daerah-daerah ini semakin membaik situasinya.
[13] Seperti
yang terjadi di banyak NSB lainnya, seperti Haiti, Bangladesh, Filipina,
Meksiko, Nigeria, Kamerun, Somalia, Mauritania, Burkina Faso, Argentina, dan
Etiopia (George Kombe Ngolwe, www.omiusajpic.org).2035Www.wfp.org)
[14]
Zacky Nouval F, Petaka Politik Pangan di Indonesia:
Konfigurasi Kebijakan Pangan yang Tak Memihak
Rakyet, ( Malang: Intrans Publishing, 2010), hal. 33-34
[16] anonim. 2013. Meningkatkan Produktivitas Pertanian Guna Mewujudkan Ketahan Pangan
dalam Rangka Ketahanan Nasional. Direktorat Pengkajian Bidang
Ekonomi.Jurnal Kajian LEMHANNAS RI. Edisi 15. Mei 2013.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Anjak
2005_1V 15.pctf,
diakses tgl 8 April 2012, pukul 16.00 WIB.
[18]
Hafidz, Januar dkk. Laporan
Pengawasan Perbankan(LPP).Departemen Penelitian Dan Pengaturan Perbankan.Jakarta:Bank
Indonesia
[19]
Nor Ghani Md. Nor, Zulkifly Osman, Ahmad Zainuddin Abdullah, Chin Yit Jun,
2000. Trends in the Malaysian Industrial Market Structures, Jurnal Ekonomi
Malaysia, 34 (2000), 3-20
[20]
Stephen Martin, 1993, Industrial
Economics; Economic Analisysis & Publik Policy 2Nd ed.Printece Hall